Sejarah Karangasem dan Kota Amlapura


Sore sobb, berhubung saya berasal dari Karangasem, berikut Saya mau Share tentang Sejarah Karangasem dan Kota Amlapura, mari Kita mulai dari yang pertama :

1. Wilayah Karangasem
          Sebelum menelusuri kapan tepatnya Kota Amlapura dibangun, ada baiknya dipahami lanskap wilayah Karangasem. Tentu saja wilayah Karangasem berhubungan erat dengan wilayah yang sekarang ini diterima sebagai wilayah Kabupaten Karangasem. Di mana sesungguhnya wilayah Karangasem yang sekarang ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan wilayah kerajaan Karangasem pada awalnya. Pada jaman kerajaan Karangasem sampai tahun 1908 wilayahnya mencakup 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen, dan Talibeng.
          Cikal bakal keberadaan Karangasem sebagai suatu entitas wilayah diawali dengan disebutnya daerah yang disebut sebagai Adri Karang oleh “Prasasti Sading C” (Goris, 1954)9. Pada prasasti ini disebutkan dengan jelas bahwa di sebelah timur puau Bali berdiri dengan tegak sebuah gunung yang tinggi menjulang menggapai angkasa yang disebut Adri Karang yang juga dapat diartikan sebagai ‘Gunung Karang’. Pada penanggal ke-12 bulan paro terang, wuku Julungwangi, tahun saka 1072 atau tahun masehi 1150, Ida Bhatara Guru menitahkan putranya Sri Maharaja Jayasakti atau yang kemudian dikenal sebagai Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali membangun kemakmuran di sana. Prasasti Sading C menyebutkan bahwa kehadiran Hyang Agnijaya ke Bali sebagai “gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka karahayuaning jagat bangsul…”. Frasa ini ada yang mengartikan sebagai membangun tempat suci untuk tujuan memberi keselamatan bagi seluruh jagat Bali. Berdasarkan komposisi frasa tersebut sebenarnya mengacu pada menciptakan religiusitas (agama: dharma) di wilayah yang disebut “Adri Karang” atau “Gunung Karang sebagai wujud kesejahteraan jagat Bali (Bangsul). Dari “Gunung Karang” itulah Hyang Agnijaya dititahkan oleh Ida Bhataa Guru untuk menebarkan ajaran dharma agar seluruh jagat Bali ini sejahtera.
         Di “Gunung Karang” itu, selanjutnya berdiri sebuah pura yang sekarang ini lazim disebut Pura Lempuyang Luhur. Disanalah konon berstana Hyang Agnijaya yang disebut-sebut wilayahnya dalam “Prasasti Sading C”. Menurut hasil penelitian Institut Hindu Dharma (sekarang Universitas Hindu Indonesia) tentang “Sejarah Pura-Pura” di Bali, nama “Lempuyang” berkaitan dengan tempat itu sebagai “tempat yang terpilih”. Atau dengan kata lain “Gunung Karang” itu adalah tempat yang dipilih oleh Ida Bhatara Guru (Hyang Paramaiswara) sebagai titik awal untuk menyebarkan agama Hindu di Bali bagi kesejahteraan umat manusia di bumi ini. Makna ini berdasarkan arti kata “lampu” yang berarti ‘terpilih; disukai’ dan “Hyang” berarti ‘Tuhan’. Secara historis, penyebutan kata “Lampu Hyang” kemudian bergeser pelafalannya menjadi ‘Lempuyang’.
          Nama Karangasem sebagai suatu kesatuan entitas wilayah juga mendapat sebutan lain di dalam teks-teks kesusastraan Bali. Teks Negarakretagama yang merupakan teks historiografi tradisional utama yang ditemukan di Karangasem, menyebut wilayah Karangasem sebagai “Kamalasana” yang dapat diartikan sebagai ‘teratai’ atau mengacu pada sejenis pohon ‘asoka’. Penyebutan nama ini berkaitan dengan sejarah kekuasaan Ki Dauh Bale Agung yang disebut-sebut berkuasa di Amlanagantun (Muljana, 1979).
Selain itu keberadaan wilayah Karangasem ini juga berkaitan dengan spektrum kekuasaan kerajaan Gelgel pada masa lalu. Babad Gelgel menyebutkan bahwa wilayah “Adri Karang” merupakan wilayah kerajaan Gelgel, lengkap dengan desa-desa disekitarnya seperti Kedampal, Datah, Kubu, Tyanyar, dan lain-lain. Raja yang memerintah sebagai raja bawahan pada saat itu bergelar I Dewa Karang Amla.

2. Terbentuknya Kerajaan Karangasem dan Kota Karangasem

          Ida Anglurah Batan Jeruk, demikian Babad Karangasem menyebut beliau yang dewata (wafat) di Desa Jungutan (sekarang: Desa Bungaya) setelah dikepung oleh pasukan Gelgel demi mempertahankan sebuah prinsip otoritas kepemerintahan. Atau beliau juga disebut Kriyan Patih Agung I Gusti Agung Arya Batan Jeruk seperti dinyatahan di dalam Babad Dalem yang wafat pada candra sengkala “brahmana nyaritawang ana wani“ yang berarti tahun saka 1478 atau 1556 masehi12. Mengenai wafatnya Ida Anglurah Batan Jeruk ini, teks “Lalintihan Babad Karangasem”, druwen I Gusti Agung Jelantik (almarhum) dari Puri Agung Jelantik Kelodan Pesagi Karangasem menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun saka 1508 atau tahun masehi 1586 masehi (“rusak duk wangun Isaka 1508, Brahmanda ring ta wang kawasa inguni”)13. Namun, sumber-sumber lain lebih banyak yang menyebutkan wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk wafat pada tahun 1556 masehi atau pada tahun saka 1478. Hal yang sama yang disampaikan pada babad dan lalintihan tersebut ialah bahwa I Gusti Agung Jelantik Dewata ring Bungaya wafat karena di rusak (dibunuh) oleh penguasa Raja Gelgel pada waktu itu (brahmanda ring ta wang kawasa inguni).
          Ida Anglurah Batan Jeruk, yang sebelumnya merupakan mahapatih Kerajaan Gelgel yang wafat di desa Bungaya itulah merupakan sebab dari segala penyebab terbentuknya Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk. Imperium kerajaan ini selanjutnya bertahan sampai sistem pemerintahan kemudian berubah. Baik saat di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda maupun menjelang bergantinya sistem pemerintahan Republik.
          Sebelum Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk berkuasa, pasca Arya Dauh dan selanjutnya di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, Karangasem merupakan raja vasal yang dipimpin oleh Ida I Dewa Karang Amla. Penyebutan wilayah Karangasem sebagai satu kesatuan entitas wilayahpun sebelumnya berubah-ubah yang ditemukan dari berbagai teks, dari Karang Adri, Kamalasana, Amlanagantun, dan Karang Amla.
Pada saat, I Gusti Agung Arya Batan Jeruk wafat di wilayah Kerajaan di bawah kekuasaan Ida I Dewa Karang Amla, beliau meninggalkan seorang putra angkat bergelar I Gusti Agung Pangeran Oka dan seorang istri cantik jelita. I Gusti Agung Pangeran Oka bersama permaisuri I Gusti Agung Arya Batan Jeruk kemudian tinggal di Desa Budakeling, di pasraman Danghyang Astapaka.
Danghyang Astapaka yang juga memiliki pasraman pula di Bukit Mangun, Desa Toya Anyar (Sekarang: Desa Tyanyar). I Gusti Agung Pangeran Oka begitu tekun mengikuti kegiatan spiritual sehari-hari yang dilaksanakan Dang Hyang Astapaka. Sekali waktu bahkan ikut melakukan kegiiatan spiritual di Asrama Bukit Mangun. Sementara itu, janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk sering kali pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
          Pada suatu hari, saat hari pasaran tiba, janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk seperti biasanya pergi ke pasar. Pada hari yang bersamaan, Ida I Dewa Karang Amla juga bermaksud melihat-lihat suasana hari pasaran. Di suatu persimpangan jalan, keduanya bertemu. Ida I Dewa Karang Amla terkesima dengan kecantikan janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk sehingga serta merta lalu jatuh cinta.
          Tidak lama setelah pertemuan itu, Ida I Dewa Karang Amla kemudian melamar janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk untuk diperistri. Lamaran tersebut kemudian diterima asalkan mau memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Ida I Dewa Karang Amla tidak bergeming, apapun persyaratan yang diajukan oleh janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk akan disetujuinya. Demikian pula pada saat diajukan syarat agar I Gusti Agung Pangeran Oka menjadi pewaris Kerajaan Karangasem, persyaratan itupun disetujuinya.
Hal hasil perkawinan antara Ida I Dewa Karang Amla dengan janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk akhirnya terjadi. I Gusti Agung Pangeran Oka, juga akhirnya ikut di boyong ke Desa Balepunduk (Desa Selagumi) tempat Ida Anglurah Karang Amla mengedalikan pemerintahan kerajaan Karangasem pada waktu itu.
          Setelah tiba waktunya, akhirnya I Gusti Agung Pangeran Oka akan ditetapkan sebagai raja menggantikan Ida I Dewa Karang Amla. Namun, karena lebih suka melaksanakan kegiatan spiritual bersama Dang Hyang Astapaka penetapan sebagai raja itupun ditolaknya. Kekuasaan kerajaan akhirnya diserahkan kepada putra atau cucunya. Adapun I Gusti Agung Pangeran Oka kemudian mengikuti kata hatinya mengikuti Dang Hyang Astapaka menjalani kehidupan suci di Bukit Mangun, Desa Toya Anyar. Pada waktu dilimpahkannya kekuasaan kepada I Gusti Agung Pangeran Oka, Kerajaan Karangasem di bawah dinasti sebenarnya sudah terbentuk terjadi. Namun tentatifitas waktu kapan pemindahan kekuasaan itu terjadi tidak diketahui secara pasti. Perlu mendapat perhatian di sini ialah janji Ida I Dewa Karang Amla untuk mewariskan tahta kerajaan kepada I Gusti Pangeran Oka bila ingin mempersunting janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk

3. Setelah Terbentuknya Kerajaan Karangasem

          Setelah Kerajaan Karangasem terbentuk, maka sepanjang sejarahnya terjadi pasang surut sesuai perkembangannya. Sesuai data sejarah yang tersedia, Kerajaan Karangasem telah melakukan perluasan-perluasan wilayah kerajaan di wilayah Bali, bahkan sampai ke Lombok. Di Bali, Kerajaan Karangasem melakukan invasi ke Buleleng dan Jembrana. Di Lombok, Kerajaan Karangasem eksis sampai akhir abad ke-1915. Sebelum itu, setelah berakhirnya Puputan Jagaraga di Buleleng pada tahun 1849, kekuasaan Kerajaan Karangasem di Buleleng dan Jembrana berakhir16.
          Setelah dua peristiwa perang yang melanda Kerajaan Karangasem, maka wilayah yang dikuasai semakin menusut pula. Raja Karangasem Ida Anak Agung Gde Djelantik, pada tahun 1908 tercatat hanya membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen, dan Talibeng.
          Pasca dikalahkannya Kerajaan Karangasem di Buleleng dan Lombok oleh tentara Kerajaan Belanda, Kerajaan Karangasem dihapuskan. Secara legalitas formal Kerajaan Karangasem merupakan Gouverments Landschap Karangasem di bawah otoritas Pemerinahan Hindia Belanda. Pada tahun 1896, Raja I Gusti Gde Jelantik diangkat sebagai stedehouder (wakil pemerintah Belanda) oleh Gubernur Djendral Hindia Belanda. Walaupun Kerajaan Karangasem talah berubah status sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, stadehouder I Gusti Gde Jelantik tetap melaksanakan pemerintahan dengan sistem pemerinahan tradisional (Putra Agung, 2001: 179).
          Setelah berakhirnya pemerintahan I Gusti Gde Jelantik, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengangkat I Gusti Bagus Jelantik sebagai stedehouder pada tahun 1908. Namun keputusan itu ditentang oleh I Gusti Ketut Jelantik (Gesah) dan I Gusti Putu Jelantik. Kedua calon stedehouder pengganti I Gusti Gede Jelantik ini kemudian berencana membuat kekacauan di wilayah Karangasem, begitu tersiar kabar yang beredar di masyakat. Namun, sebelum sempat kekacauan benar-benar terjadi, Residen Bali dan Lombok ada waktu itu memerintahkan mengirim dua kapal perang ke Karangasem, yaitu kapal perang “Koningen Regenters“ dan “Koningen Wilhelmina” yang dipenuhi sejumlah pasukan. Selain itu, dua buah kapal kecil yang disebut “Mataram” dan “Nias” juga menyertai dengan pasukan dan perlengkapan yang cukup. Keempat kapal tersebut mendarat di Ujung pada tanggal 11 September 1908. Pemerintah Hindia Belanda yang dianggap mempunyai niat tertentu di balik pengangkatan I Gusti Bagus Jelantik sebagai stedehouder bersikukuh prosedur pengangkatan itu sudah benar.
          Secara resmi, I Gusti Bagus Jelantik akhirnya diangkat menjadi stedehouder berdasarkan besluit No. 22, tanggal 28 Desember 1908. I Gusti Bagus Jelantik, sejak tahun 1909 didampingi oleh W.F.J. Kroon menjalankan roda pemerintahan di Karangasem sebagai Kontrolir yang kemudian menciutkan jupunggawaan. Apabila sebelumnya kepunggawaan berjumlah 20 distrik, diciutkan menjadi 16 distrik pada tahun 1913. Setahun kemudian, jumlah distrik diciutkan lagi menjadi 12 distrik, terdiri dari distrik Karangasem, Selat, Bugbug, Rendang, Culik, Bebandem, Kubu, Manggis, Muncan, Abang, Seraya, dan Sidemen.
          Sementara itu pada tanggal 14 September 1908, I Gusti Ketut Jelantik dan I Gusti Gde Putu diasingkan ke Jembrana dengan naik Kapal Koningen Regentes di bawah komando Captain Carpentier Alting. Ikut mengantar rombongan yang diasingkan tersebut Asisten Residen Schwartz dan I Gusti Gde Jelantik. Pada pukul 15.00, tanggal 15 September 1908 rombongan tiba di Jembrana. Keesokan harinya, I Gusti Gde Jelantik beserta pengiringnya kembali berlayar menuju pulang ke Karangasem18.
Meskipun pemindahan kekuasaan dari Raja I Gusti Gde Jelantik kepada I Gusti Bagus Oka menuai persoalan, namun pada kenyataannya lambat laun dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan tokoh-tokoh berpengaruh. Dinamika pemerintahan Karangasem berjalan terus pasca dilantiknya I Gusti Bagus Jelantik sebagai kepala pemerintahan di Karangasem.
         Melalui pengangkatan I Gusti Bagus Jelantik itu, pada dasarnya pihak Pemerintah Hindia Belanda berkeinginan untuk menerapkan sistem pemerintahan langsung (rechtstreeksch bestuur) di seluruh Bali, khususnya di Karangasem. Keputusan Gubernur Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921 No. 27 Stbl No. 756 tahun 1921 yang diberlakukan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, menghapuskan Gouvernements Lanschap Karangasem, memperlihatkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda berniat mengubah status Pemerintahan Karangasem menjadi daerah otonomi, langsung di bawah kendali Pemerintahan Hindia Belanda. Terbentuknya Karangasem Raad beranggotakan 33 orang yang diketuai oleh Regent I Gusti Agung Bagus Djelantik segera mengubah status Pemerintahan Karangasem yang langsung di bawah Kendali Pemerintah Hindia Belanda. Apalagi kemudian sekretaris Karangasem Raad dijabat oleh seorang Controleur Karangasem dari pihak Belanda.
          Sementara itu, Regent Ida Anak Agung Bagus Djelantik tetap menginginkan Karangasem tetap sebagai daerah otonom dan menyampaikan keberatan melalui surat kepada Residen Bali-Lombok saat itu. Surat itupun kemudian ditanggapi melalui surat tetanggal 8 Pebuari 1921 (bdk. Putra Agung, 2001: 84)19. Persoalan Karangasem Raad itu juga menuai keresahan di kalangan orang-orang Belanda yang bertugas di pemerintahan. Oleh karena keputusan itu merupakan keputusan Volksraad (Dewan Rakyat), maka mereka mau tidak mau menerapkan kepitusan itu. Pada saat itu, Ida Anak Agung Bagus Jelantik tetap menggunakan gelar Stadehouder. Fenomena ini jelas merupakan bentuk pembangkangan. Apalagi kemudian, controleur yang bertugas di Karangasem menurut struktur Pemerintahan Hindia Belanda seharusnya menjadi ketua Karangasem Raad. Kenyataanya, controleur bertugas sebagai sekretaris saja20. Kebijakan ini juga berdampak pada pengurangan jumlah pejabat punggawa dari 14 orang menjadi 8 orang karena wilayah Karangasem dibagi ke dalam 8 wilayah, yaitu: Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, dan Kubu21.
Dinamika pemerintahan di Karangasem pasca intervensi Pemerintah Hindia Belanda terus terjadi. Barangkali Pemerintah Hindia Belanda yang mulai merasa lemah karena rongrongan tentara Jepang dan akibat krisis perang dunia II, maka diterapkanlah politik “indirect rule“. Sistem tersebut memanfaatkan struktur pemerintahan yang ada seefektif mungkin untuk mempertahan kedudukannya menghegemoni daerah koloni. Pada satu sisi, dengan terbentuknya Karangasem Raad dan dihapuskannya Gouvernements Lanschap Karangasem, keuangan pemerintah Karangasem tertekan. Celah ini dimanfaatkan oleh I Gusti Bagus Jelantik untuk mengajukan permohonan kepada Gubernemen adag Kerajaan Karangasem diijinkan membentuk pemerintahan sendiri (selfbestuur) (Putra Agung, 2001: 187). Keadaan ini, memperlihatkan semakin hari pemerintahan Karangasem di bawah kendali I Gusti Bagus Jelantik semakin kuat meskipun mengalami kesulitan keuangan. Keberanian mengusulkan sesuatu di luar “keinginan” Pemerintah Hindia Belanda mengindikasikan bargaining posisition (posisi tawar) pemerintahan Karangasem semakin kuat.
Kenyataanya, tidak lama setelah itu, berdasarkan staatblaad No. 529 berupa Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda No. 1, tertanggal 30 Juni 1938, maka terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 I Gusti Bagus Jelantik diangkat menjadi pimpinan zelfbestuur Karangasem. Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbestuur Karangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah zelfbestuur-zelfbestuur lain di seluruh Bali, yaitu zelfbestuur Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng (Ibid).
Setelah terbentuknya zelfbestuur (swapraja) di seluruh Bali, atas inisiatif Residen L.J.J. Caron, pada tahun 1929 gelar raja sebagai zelfbestuurder disesuaikan dengan linggih (titel adat) Bali. Raja Klungkung menggunakan gelar “Dewa Agung”; Buleleng, Jembrana, Gianyar, dan Bangli menggunakan gelar “Anak Agung”; Badung dan Tabanan menggunakan gelar “Cokorda”; dan Karangasem menggunakan gelar “Anak Agung Agung” (ibid)22. Semua negara zelfbestuur tersebut kemudian masing-masing membentuk apa yang disebut paruman negara, yaitu sebuah majelis perwakilan yang terdiri dari para punggawa, seorang anggota Raad Kerta (pengadilan), beberapa orang sedahan, dan seorang dari kalangan swasta yang ditunjuk oleh zelfbestuurder (raja) atas persetujuan residen. Di samping itu—demi kepentingan bersama—dibentuk pula paruman agung, yaitu sebuah badan perwakilan yang mewakili setiap zelfbestuur yang ada di Bali. Anggota paruman agung terdiri dari masing-masing dua (2) orang yang dikirim oleh zelbestuurder. Dewan perwakilan tersebut memiliki seorang sekretaris dan ketuanya ialah residen yang berkedudukan di Singaraja.
Dinamika sistem pemerintahan di Bali, khususnya di Karangasem kemudian juga terjadi pasca masuknya Jepang masuk ke Bali pada tahun 1942. Namun tampaknya menganut paham “indirect rule” seperti dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu sesuai teori A.A. Gde Putra Agung (2001) dalam bukunya “Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional ke Kolonial”. Pada saat itu “paruman agung“diubah menjadi Sutyo Renmei. Selanjutnya seperti diketahui bersama, pada tahun 1946 setelah Jepang menyerah, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur dan swapraja di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja yang berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang Raja.
         Selanjutnya, pada bulan Oktober 1950, Swapraja Karangasem berevolusi berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian. Dewan tersebut dipimpin oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian. Pada tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja diubah menjadi Daerah Tingkat II Karangasem.
         Kepala Pemerintahan yang menjabat sebagai Kepala Daerah dari masa ke masa setelah Kabupaten Karangasem terbentuk sebagai berikut.
1. Anak Agung Gde Jelantik (1951—1960);
2. Gusti Lanang Rai (1960—1967);
3. Letkol Polisi Anak Agung Gde Karang (1967—1979);
4. Letkol Pol I Gusti Nyoman Yudana (1979—1989);
5. Kolonel Pol. I Ketut Mertha, Sm.Ik. S.sos (1989—1999);
6. Drs. I Gede Sumantara Adi Prenatha dan Drs. I Gusti Putu Widjera (1999—2005);
7. I Wayan Geredeg, S.H. dan Drs. I Gusti Lanang Rai, M. Si. (2005—2010);
8. I Wayan Geredeg, S.H. dan I Nengah Sukerena, S.H. (2010—2015).
Demikian sekilas dinamika pemerintahan Kabupaten Karangasem dari masa ke masa menurut sejarahnya. Sudah tentu rekonstruksi ini ada yang sama dan ada yang berbeda dengan uraian ilmuwan maupun praktisi sejarah sebelumnya.

4. Asal Usul Nama Amlapura

1. Prasasti Sading yang berangka tahun 1150, menyatakan bahwa di wilayah timur pulau Bali ada sebuah wilayah bernama Ardi Karang.
2. Babad Dalem Menyebut wilayah Karangasem sebagai Karang Amla;
3. Nagarakretagama menyebut wilayah Karangasem sebagai Amlanagantun;
4. Puri Kelodan yang cikal Bakal Kota Amlapura, dahulu disebut Amlarajya;
5. Keputusan Meteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 284. Tertanggal 28 Nopember 1970 menyebut Ibu Kota Kabupaten Karangasem ialah Kota Amlapura.
         Sementara itu, nama Karangasem sebagai sebuah kerajaan identik dengan Karang Amla. Di mana kata amla dalam bahasa Jawa Kuna berarti “pohon asam” (Zoetmulder, 2004: 32) atau tamarindus indica. Bila kita mereka-reka secara linguistic counting, tampaknya kata amla lebih dominan digunakan sebagai nama wilayah yang sekarang ini kita kenal sebagai Kabupaten Karangasem.
Sebagaimana kita ketahui, di wilayah Kabupaten Karangasem dikenal sebagai pusat perkembangan agama Hindu—Budha yang diwarisi oleh masyarakat Bali sampai sekarang ini. Oleh karena itu, kata amla yang berkaitan dengan tradisi Hindu—Budha merupakan kata yang digunakan untuk membangun frasa karang amla, amlanegantun, amlarajya, dan amlapura.
Kebimbangan pemberian nama Karangasem itu belum mempertimbangkan aspek lain yang berkaitan dengan kata amla yang sebenarnya berasal dari bahasa sanskerta dan tercantum dalam kitab Ayurweda. Kata amla dalam bahasa bahasa sanskerta berpadanan dengan kata amalaka. Amla atau amalaka ialah nama sejenis pohon (seperti pohon asam) berbunga kekuningan dan berbuah bundar berwarna coklat kekuning-kuningan. Di dalam teks-teks Veda dan Kitab-kitab Budha, buah ini dianggap sebagai buah suci, sebagai pohon pelindung dari segala bencana.
Di dalam tradisi diceritakan bahwa sebagian buah amalaka merupakan persembahan sempurna kepada Budha Sangha oleh kerajaan besar India yang bernama Asoka. Cerita ini digambarkan dalam Asokavadana dalam versi sebagai berikut: “Sebuah persembahan besar, Tuhan bagi semua makhkluk, Maurya Asoka yang termasyur, dipersembahkan oleh beliau sang pangeran of Jambudvipa (India) agar menjadi bangsawan yang sempurna” (Strong, 1983: 99). Sloka ini berkaitan dengan bentuk stupa sebagai perwujudan dalam pemujaan yang kemudian disebut patna dan selanjutnya disebut amalaka stupa28.
         Di dalam tradisi Hindu pohon amalaka dipandang sbagai stana Dewa Wisnu. Pohon amalaka dipersembahkan pada Amalaka Ekadashi. Selanjutnya, Adi Shangkara disebutkan membacakan komposisi Kanakadhara Sutra pada saat memuja Mahalaksmi agar membuat para Brahmin wanita memperoleh kesehatan, mengembalikan mereka seperti sebutir amla yang dipersembahkan kepada bhiksa pada hari suci dwadasi. Ayurweda menyebut amla rasanya asam dan merupakan zat yang mengecutkan (kashaya) dalam rasanya (rasa), ada pula rasa manis (madhura), pahit (tikta), dan tajam (katu) rasa dibaliknya (anurasa). Ini dikualifikasikan memiliki manfaat (gunas) sebagai cahaya penerang (laghu) dan mengeringkan (ruksha), efek penyembuhan selanjutnya (vipaka) ialah manis (madhura), dan itu merupakan energi (virya) mendinginkan  (shita).
          Berdasarkan data baru linguistic historis dari kata amla yang digunakan sebagai kata Amlapura seperti diuraikan di atas, maka nama Amlapura yang berarti ‘tempat pohon amla tumbuh’ berasal dari bahasa sanskerta amla atau amalaka atau amalika.

*Diolah dari berbagai sumber
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.